Jakarta – Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dinilai perlu direvisi agar koperasi dapat lebih adaptif, profesional, dan berdaya saing di era ekonomi digital. Sejumlah pasal dalam regulasi tersebut dianggap belum mampu mengakomodasi perkembangan model bisnis koperasi berbasis digital.
Hal ini disampaikan anggota Komisi II DPR RI, Drs. H. Longki Djanggola, M.Si, dalam Pleno Penyusunan Perubahan UU Perkoperasian di Baleg DPR RI, Rabu (19/3/2025), yang berlangsung di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta.
“Banyak koperasi berbasis platform digital kesulitan mendapatkan pengakuan hukum yang jelas. Revisi UU ini diperlukan agar koperasi digital bisa berkembang tanpa terbentur regulasi yang kaku,” ujar Longki, politisi Partai Gerindra yang juga mantan Gubernur Sulawesi Tengah periode 2011–2021.
Longki menekankan bahwa koperasi harus tetap berpegang pada asas kekeluargaan dan gotong royong sebagai fondasi utama. “Koperasi bukan sekadar entitas bisnis seperti korporasi privat, tetapi lembaga ekonomi rakyat yang harus dikelola dengan prinsip kebersamaan,” tegasnya.
Selain itu, ia menyoroti pentingnya peningkatan profesionalisme dan transparansi dalam pengelolaan koperasi. Menurutnya, banyak koperasi mengalami masalah akibat lemahnya pengawasan serta tata kelola keuangan yang tidak akuntabel.
“Revisi UU ini harus mengatur standar tata kelola yang lebih ketat, agar koperasi bisa lebih transparan dan profesional. Dengan demikian, koperasi benar-benar menjadi solusi ekonomi bagi masyarakat,” pungkasnya. **